Pengertian stress, faktor-faktor penyebab stress
I.
LANDASAN
TEORITIK
Setiap Individu atau siswa kadang-kadang mengalami stress. Siswa mungkin
mengalami stress seperti saat hubungan dengan teman sekolahnya berjalan tidak
baik atau saat ujian terakhir tiba kadang mengalami stress yang sangat berat,
seperti menyebabkan emosi yang menyakitkan seperti kecemasan dan depresi.
Tetapi ini juga dapat menyebabkan penyakit fisik rendah maupun parah. Tetapi
reaksi seseorang terhadap stress berbeda-beda, sebagian orang menghadapi
pristiwa stress mengalami masalah psikoogis atau fisik serius. Sebagian orang
yang berhadapan dengan pristiwa stress yang sama tidak mengalami masalah
apa-apa dan bahkan mungkin merasa pristiwa itu sebagai sesuatu yang menantang
dan menarik.[1]
a. Pengeretian Stres
Stress adalah bentuk ketegangan dari fisik, psikis, emosi maupun mental.
Bentuk ketegangan ini mempengaruhi kinerja keseharian seseorang. Bahkan stress
dapat membuat produktivitas menurun, rasa sakit dan gangguan-gangguan mental.
Pada dasarnya, stress adalah sebuah bentuk ketegangan, baik fisik maupun
mental. Sumber stress disebut dengan stressor dan ketegangan yang di akibatkan
karena stress, disebut strain.
Menurut Robbins, stress juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang
menekan keadaan psikis seseorang dalam mencapai suatu kesempatan dimana untuk
mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan atau penghalang. Dan apabila
pengertian stress dikaitkan dengan penelitian ini maka stress itu sendiri
adalah suatu kondisi yang mempengaruhi keadaan fisik atau psikis seseorang
karena adanya tekanan dari dalam ataupun dari luar diri seseorang yang dapat
mengganggu pelaksanaan kerja mereka.
Stress bersumber dari frustasi dan konflik yang dialami individu yang
dapat berasal dari berbagai bidang kehidupan manusia. Konflik antara dua atau
lebih kebutuhan atau keinginan yang ingin dicapai, yang terjadi secara
berbenturan juga bias menjadi penyebab timbulnya stress. Konflik bias saja
menjadi pemicu timbulnya stress atau setidaknya membuat individu mengalami
ketegangan yang berkepanjangan yang akan mengalami kesulitan untuk
mengatasinya.[2]
Sumber stress yang paling jelas adalah pristiwa traumatic, dimana
individu berada dalam situasi yang berbahaya dan ekstrim yang berada diluar
rentang pengalaman manusia yang lazim. Misalnya peristiwa itu seperti bencana
alam, seperti gempa bumi dan banjir, bencana buatan manusia, seperti perang dan
kecelakan nuklir. Walaupun reaksi orang terhadap suatu peristiwa yang memicu
timbulnya stress berdasarkan peristiwa troumatik sangatlah berbeda-beda,
terdapat pola prilaku yang umum disebut sindroma bencana ( disaster syndrome).[3]
b.
Pengaruh
Stres Pada Fisiologis
Jika kerja sistem urat saraf yang otomik menyiapkan seseorang untuk
keadaan darurat diperpanjang, hal tersebut dapat menjurus kearah kekacauan
fisik seperti bisul, tekanan darah tinggi, dan serangan jantung. Stress yang
gawat (berlangsung melalui sistem urat saraf pusat untuk mengubah keseimbangan
hormon) dapat juga merusak respons daya tahan seseorang, mengurangi kemampuan
melawan bakteri dan virus-virus yang menyerang. tepat benar bila diperkirakan
bahwa stres emosional memegang peranan yang penting dalam lebih dari 50% segala
masalah kesehatan.
obat-obatan psikosomatik - penelitian tentang hubungan antara
variabel-variabel kejiwaan dan kesehatan fisik kejiwaan dan kesehatan fisik
telah menjadi bagian yang makin penting dalam riset antar disipliner. Istilah
“psikosomatik” berasal dari bahasa yunani psyche
(“jiwa”) dan soma (“badan”). Alergi,
sakit kepala migrain, tekanan darah
tinggi, penyakit jantung, bisul, dan bahkan jerawat adalah penyakit yang
diperkirakan ada hubungannya dengan stres emosional. Penelitian mengenai
kekacauan ini terlalu luas untuk diringkas disini, tapi beberapa studi
menunjukkan adanya hubungan antara stres kejiwaan dan kekacauan fisik seperti
radang dinding lambung dan penyakit jantung merupakan contohnya.[4]
c.
Faktor –
faktor Stres
i.
Sumber-sumber
stress didalam individu, kadang-kadang sumber stress itu ada didalam
diri seseorang. Salah satunya melalui kesakitan dari sebuah penyakit. Stress juga akan muncul dalam seseorang mengalami konflik. Konflik merupakan sumber
stress yang utama.
ii.
Sumber-sumber
stress di dalam keluarga. Stress
di sini juga dapat bersumber dari interaksi di antara para anggota keluarga,
seperti : perselisihan dalam masalah keuangan, perasaan saling acuh tak acuh,
tujuan-tujuan yang saling berbeda. Misalnya : perbedaan keinginan tentang acara televisi yang akan ditonton,
perselisihan antara orang tua dan anak-anak yang menyetel tape-nya keras-keras,
tinggal di suatu lingkungan yang terlalu sesak, kehadiran adik baru. Khusus
pada penambahan adik baru ini, dapat menimbulkan perasaan stress terutama pada
diri ibu yang selama hamil (selain perasaan senang, tentu), dan setelah
kelahiran. Rasa stress pada ayah sehubungan dengan adanya anggota baru dalam
keluarga, sebagai kekhawatiran akan berubahnya interaksi dengan ibu sebagai
istrinya atau kekhawatiran akan tambahan biaya. Pra orang tua yang kehilangan anak-anaknya
atau pasanganya karena kematian akan merasa kehilangan arti.
iii.
Pekerjaan dan stress, hampir semua orang didalam kehidupan
mereka mengalami stress sehubungan denga pekerjaan mereka. Tidak jarang situasi
yang ‘stressful’ ini kecil saja dan tidak berarti, tetapi sebagian banyak orang yang mengalami situasi stress ini begitu sangat terasa dan berkelanjutan
didalam jangka waktu yang lama. Faktor-faktor yang membuat pekerjaan itu
‘stressful’ ialah :
1. Tuntutan
kerja : pekerjaan yang terlalu banyak dan membuat orang bekerja terlalu keras
dan lembur, karena keharusan mengerjakannya.
2. Jenis
pekerjaan : jenis pekerjaan itu sendiri sudah lebih ‘stressful’ dari pada jenis
pekerjaan lainnya. Pekerjaan itu misalnya : jenis pekerjaan yang memberikan
penilaian atas penampilan kerja bawahannya (supervisi), guru, dan dosen.
3. Pekerjaan yang
menuntut tanggung jawab bagi kehidupan manusia : contohnya tenaga medis
mempunyai beban kerja yang berat dan harus menghadapi situasi kehidupan dan
kematian setiap harinya. Membuat kesalahan dapat menimbulkan konsekuensi yang
serius.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi kerasnya
stress
Faktor ini meliputo sikfat-sifat
khas stres itu sendiri, situasi yang menmbulkan stres, penilaian dan evaluasi
seseorang terhadap situasi yang penuh stres, dan kejeliannya menanggulanginya.[5]
1. Kemampuan Menerka.
Kemampuan menerka timbulnya kejadian stres, walaupun yang bersangkutan
tidak dapat mengontrolnya biasanya mengurangi kerasnya stres. Experimen
laboraturium menunjukkan bahwa baik
manusia maupun hewan lebih suka pada kejadian yang tidak disukai tapi dapat
diterka dari pada kejadian yang tidak dapat diterka. Dalam satu studi,
tikus-tikus diberi pilihan antara sengatan dengan tanda bunyi dan sengatan
tanpa tanda bunyi. Jika tikus ini menekan suatu batangan pada awal dari
serangkaian
Percobaan dengan sengatan, tetapi sengatan diawali dengan bunyi
peringatan; jka tikus itu gagal menekan batangan itu, maka tidak ada bunyi
peringatan yang berbunyi selama serangkaian percobaan itu. Semua tikus itu
dengan cepat belajar menekan batangan itu, dengan menunjukkan kesenangan yang
jelas pada sengatan yang dapat diperkirakan. Nyatanya tikus-tikus lebih suka
sengatan yang dapat diperkirakan walaupun bila sengatan itu lebih lama dan
lebih keras daripada sengatan yang tidak dapat diperkirakan. Dengan sengatan
yang tidak dapat diperkirakan, maka tidak ada waktu yang “aman”; dengan
sengatan yang dapat diperkirakan, binatang itu dapat relaks untuk beberapa saat
sampai bunyi peringatan itu menyatakan sengatan.
2. Kontrol atas jangka waktu.
Kemampuan mengendalikan jangka waktu kejadian yang penuh stres juga
mengurangi kerasnya stres. Dalam suatu studi, subjek penelitian dipertunjukkan
foto berwarna korban kematian yang ganas. Kelompok eksperimental dapat mengakhiri
pengamatannya dengan menekan tombol. Subjek kontrol melihat foto yang sama
untuk jangka waktu yang ditentukan oleh kelompok eksperimental, tapi mereka
tidak dapat mengakhiri paparan foto tesebut. Kelompok eksperimental menunjukkan
lebih sedikit kecemasan sebagai respons pada foto-foto tadi dari pada kelompok
yang tak dapat mengendalikan jangka waktu pengamatan.
3. Evaluasi Kognitif.
Kejadian penuh stres yang sama mungkin dihayati secara berbeda oleh dua
orang, tergantung pada situasi apa yang berarti kepada seseorang. Fakta
objektif situasi tidak begitu penting dibanding penilaian seseorang atas
fakta-fakta itu. Dokter-dokter yang mengobati tentara yang luka-luka sering
merasa heran terhadap cara yang tenang dan pasrah dari beberapa orang dalam
bereaksi terhadap luka parahnya, luka parah yang menyebabkan pasien rumah sakit
umum meminta obat tahan sakit. Bagi para prajurit, luka-luka merupakan perasaan
lega dari penderitaan dan bahaya perang. Demikian pula, kesengsaraan melahirkan
bayi cenderung sangat kurang stresnya bagi orang perempuan yang mengharap
sepenuhnya kelahiran bayinya dibandingkan dengan orang perempuan yang tidak
punya angan-angan menjadi seorang ibu.
4. Perasaan Mampu.
Kepercayaan seseorang atas kemampuannya menanggulangi situasi penuh stres
merupakan faktor utama dalam menentukan kerasnya stres. Berbicara dimuka
hadirin yang banyak merupakan kejadian yang menakutkan bagi kebanyakan orang,
tapi orang-orang yang sudah berpengalaman dalam berpidato memiliki kepercayaan
atas kemampuannya dalam merasakan sedikit kecemasan.
5. Dukungan Masyarakat.
Dukungan emosional dan adanya perhatian orang lain dapat membuat orang
tahan menghadapi stres. Perceraian, meninggalnya seorang kekasih, atau penyakit
yang gawat biasanya lebih memilukan, jika seseorang harus menanggungnya
sendiri. Kadang kala famili dan teman dapat menambah stres itu. Studi-studi
menunjukkan bahwa orang-orang dengan banyak hubungan kemsyarakatan cenderung
dapat hidup lebih lama dan lebih sedikit menjadi mangsa penyakit yang berkaitan
dengan stres dibanding dengan orang-orang yang mempunyai sedikit dukungan
kemasyarakatan.
Mengukur stres dalam kehidupan
Kejadian kejadian dalam kehidupan disusun bertingkat, mlai dari yang
paling stres sampai yang paling tidak stres.untuk mencapai kepada skala itu,
peneliti menyelidiki ribuan wawancara dan catatan medis untuk menemukan
macam-macam kejadian yang paling stres bagi orang-orang. Berikut skalanya :
Peristiwa kehidupan
|
Nilai perubahan kehidupan
|
Kematian
suami/istri
|
100
|
perceraian
|
73
|
Dipecat dari
pekerjaan
|
47
|
Kematian teman
dekat
|
37
|
Kesulitan/masalah
dengan bos
|
23
|
Pelanggaran –
pelanggaran kecil
|
11
|
Peristiwa yang paling stres dalam skala itu adalah kematian pasangan
hidup. Suatu peristiwa kematian yang benar-benar memerlukan penyesuaian kembali
dalam aspek-aspek kehidupan. Dalam suatu studi di inggris raya, 4.500 duda
diteliti selama 6 bulan setelah kematian istri mereka. Orang-orang ini
menunjukka tingkat kesakitan dan depresi yang tinggi, dan tingkat kematian
meeka adalah 40% lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat yang diharapkan pada
seusia mereka.
Untuk menjelaskan penemuan-penemuan itu yang mengaitkan perubahan
kehidpan dengan penyakit, pengarang skala perubahan kehidupan berhipotesis
bahwa makin gawat perubahan yang dialami seseorang, makin besar usaha orang itu
yang harus dikerahkan untuk menyesuaikan, usaha ini mungkin mengurangi daya
tahan alami dari tubuh terhadap penyakit. Beberapa studi terhadap hewan
menunjukkan bahwa stres dapat mengacaukan ketahanan kebal penyakit dari
organisme tersebut.
Orang-orang yang tahan stres
Ciri-ciri kepribadian yang tahan
stres atau orang-orang yang tabah disimpulkan dengan istilah pendek bertanggung jawab, kontrol, dan tantangan. Ciri-ciri
khas ini saling berkaitan dalam beberapa cara dengan faktor-faktor yang disebut
di muka sebagai penentu kerasnya stres.misalnya, tanggung jawab berkaitan
dengan orang-orang yang memberikan dukungan kemasyarakatan dalam waktu stres. Pengertian menguasai
peristiwa kehidupan menggambarkan perasaan mampu dan juga mempengaruhi cara
menilai peristiwa yang penuh stres. Orang-orang yang merasa bahwa mereka mampu
mengenakan kontrol atas situasi penuh stres lebih besar kemungkinannya akan
melakukan perbaikan situasi. Tantangan juga akan melibatkan evaluasi kognitif,
percaya bahwa perubahan dalam hidup merupakan hal yang normal dan harus
dipandang sebagai kesempatan untuk berkembang ketimbang sebagai ancaman
keamanan.
Peristiwa-peristiwa kehidupan yang
penuh stres jelas berperan atas adanya penyakit. Tapi peristiwa itu berperan
dengan berhubungan dengan faktor-faktor biologis, kebiasaan yang mempengaruhi
kesehatan dan ciri-ciri kepribadian seseorang.
d. Strategi Menghadapi Stres Dalam Prilaku
Strategi dalam mengahadapi stres dalam prilaku antara lain :
1) Memecahkan Persoalan dengan Tenang
Yaitu menevaluasi kekecewaan atau
stress dengan cermat, kemudian menentukan langkah yang tepat untuk diambil,
setelah itu mempersiapkan segala upaya dan daya serta menurunkan kemungkinan
bahaya.
2) Agresi
Stress
juga berpuncak pada kemarahan atau agresi. Sebenarnya agresi jarang terjadi
namun apabila terjadi hal itu hanyalah berupa respon penyesuaian diri.
Contohnya adalah mencari kambing hitam, menyalahkan pihak lain dan kemudian
melampiaskan agresinnya kepada sasaran itu.
3) Regresi
Yaitu
kondisi ketika seseorang yang menghadapi stress kembali lagi kepada prilaku
yang mundur atau kembali ke masa yang lebih muda ( memberikan respon seperti
orang yang lebih muda). Menurut penelitian klasik yang dilakukan Roger, Tamara
Dembo, dan Kurt Lewin memperlibatkan bahwa regresi adalah respon yang umum bila
menghadapi frustasi.
4) Menarik Diri
Merupakan
respon yang paling umum dalam mengambil sikap. Bila seseorang menarik diri maka
maka ia lebih memilih untuk tidak mengambil tindakan apapun. Respon ini biasanya
disertai dengan dpresi dan sikap apatis.
5) Mengelak
Seseorang
yang mengalami stress terlalu lama, kuat dan terus menerus maka ia akan
cenderung mengelak. Contoh mengelak adalah mereka melakukan perilaku tertentu
secara berulang-ulang. Hal ini sebagai pengelakan diri dari masalah demi
mengalahkan perhatian. Dalam usaha mengelakan diri, orang Amerika biasanya
menggunakan alcohol, obat penenang, heroin dan obat-obatan dari bahan kimia
lainnya.
[1] Zainal
aqib. Konseling Kesehatan Mental. Cetakan I (Bandung : CV. YRAMAWIDYA .
2013 )., hlm. 58.
[2]
Tristiadi dkk. Psikologi Klinis
Cetakan Pertama. (Yogyakarta : Graha Ilmu. 2007 ).,hlm. 43.
[3] Zainal
aqib. Konseling Kesehatan Mental. Cetakan I (Bandung : CV. YRAMAWIDYA .
2013 )., hlm. 59.
[4] Rita L
Atkinson dkk. Pengantar Psikologi, Edisi
kedelapan Jilid 2. (Jakarta : Erlangga)., hlm. 222.
[5] Ibid,.hlm.223.
Komentar
Posting Komentar