Hakikat Masalah Menurut Al-Qur'an



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setiap manusia yang hidup di dunia pastilah memiliki masalahnya masing–masing baik itu besar ataupun kecil, tak terkecuali siapapun. Dan semua  orang pada umumnya sangat membenci sekali dengan datangnya suatu masalah. Padahal jika kita amati dan telaah lebih dalam lagi setiap masalah datang ketika kita berada dalam suatu proses untuk mencapai suatu tujuan atau cita–cita. Semua itu adalah berbagai bentuk masalah yang kemungkinan akan kita hadapi. Namun di balik itu semua, jika kita dapat melewati dan menyelesaikannya dengan baik akan ada sebuah kejutan atau hadiah indah yang menanti kita di akhir.
Masalah merupakan bagian penting dari sebuah roda kehidupan. Dan pada dasarnya manusia adalah makhluk yang hanya dapat tumbuh dan berkembang dengan adanya suatu masalah. Jika tak ada masalah maka sulit rasanya bagi manusia untuk menjadi individu yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi sebenarnya masalah ada di dunia ini adalah memiliki tujuan tersendiri untuk kehidupan manusia, yaitu untuk menjaga kehidupan agar tetap aktif dan berpikir kreatif agar dapat melangkah maju menuju ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Hanya tergantung bagaimana manusia tersebut menyikapi setiap masalah yang datang. Setiap kejadian ataupun peristiwa jika disikapi dengan cara yang berbeda maka akan menghasilkan respon atau tindakan yang berbeda dan dengan adanya respon atau tindakan yang berbeda maka akan menghasilkan hasil yang berbeda pula.



B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah Hakikat masalah itu ?
2.      Apakah pengertian masalah ?
3.      Apa sajakah ayat yang menjelaskan hakikat masalah?
4.      Bagaimanakan cara penyelesaian masalah menurut Al-Quran ?

C.    Tujuan Masalah
1.      Agar para pembaca mengtahui hakikat masalah.
2.      Agar para pembaca mengetahui apa pengertian masalah.
3.      Agar para pembaca mengetahui ayat apa yang  menjelaskan tentang hakikat masalah.
4.      Agar para pembaca mengetahui bagaimana cara menyelesaikan masalah menurut Al-Qur’an.









                                                  

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hakikat Masalah
Masalah biasanya dartikan sebagai suatu kesenjangan, ketidaksesuaian, atau ketidak cocokkan antara ide dan kenyataan, antara yang seharusnya dengan fakta yang ada, atau antara keinginan dan harapan dengan realitas yang terjadi. Dalam paparan ini ini mencoba mengenal hakikat masalah tersebut dan bagaimana pendekatannya atau menghadapinya menurut pandangan  konseling dan keterangan Al-Qur’an sehingga masalah itu tidak mengganggu kesetabilan kepribadian kita.
Menurut pendekatan ini, manusia itu memiliki tiga potensi pokok, yaitu :
a)      Potensi berpikir, baik yang rasional atau lurus maupun yang tidak rasional atau bengkok.
b)      Kecendrungan untuk menjaga kelangsungan keadaan dirinya, keberadaannya, kebahagiaan, kesempatan memikirkan dan mengungkapkannya dengan kata-kata, mencintai, berkomunikasi dengan orang lain, serta terjadinya pertumbuhan dan aktualisasi diri.
c)      Memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk merusak diri sendiri, menghindar dari memikirkan sesuatu, menunda-nunda, berulang-ulang melakukan kekeliruan, percaya pada takhayul, tidak memiliki tenggang rasa, menjadi perfeksionis, menyalahkan diri sendiri, dan menghindari adanya aktualisasi potensi pertumbuhan yang dimilikinya.
Pada hakikatnya bahwa manusia itu tidak sempurna, yaitu memiliki potensi positif dan negatif, maka teori ini berusaha untuk menolong mereka untuk mau menerima dirinya sebagai makhluk yang akan selalu membuat kesalahan namun pada saat yang bersamaan juga bisa belajar hidup damai dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain orang dapat belajar mengubah pikiran mereka sehingga pikiran mereka menjadi positif dan tidak tertekan.
B.     Pengertian Masalah
Masalah kata yang digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau lebih yang menghasilkan situasi yang membingungkan.[1] Masalah biasanya dianggap sebagai suatu keadaan yang harus diselesaikan. Umumnya masalah disadari "ada" saat seorang individu menyadari keadaan yang ia hadapi tidak sesuai dengan keadaan yang diinginkan. Dalam beberapa literatur riset, masalah seringkali didefinisikan sebagai sesuatu yang membutuhkan alternatif jawaban, artinya jawaban masalah atau pemecahan masalah bisa lebih dari satu. Selanjutnya dengan kriteria tertentu akan dipilih salah satu jawaban yang paling kecil risikonya. Biasanya, alternatif jawaban tersebut bisa diidentifikasi jika seseorang telah memiliki sejumlah data dan informasi yang berkaitan dengan masalah bersangkutan.
1.      Pengertian Masalah Menurut Para Ahli
a.       Menurut James Stoner, masalah dimana suatu situasi menghambat organisasi untuk mencapai satu atau lebih tujuan.
b.      Menurut Prajudi Atmosudirjo, masalah adalah sesuatu yang menyimpang dari apa yang diharapkan, direncanakan, ditentukan untuk dicapai sehingga merupakan rintangan menuju tercapainya tujuan.
c.        Menurut Roger Kaufman, masalah adalah suatu kesenjangan yang perlu ditutup antara hasil yang dicapai pada saat ini dan hasil yang diharapkan.
d.      Menurut Dorothy Craig, masalah adalah situasi atau kondisi yang akan datang dan tidak diinginkan.
Seseorang yang menyandarkan dirinya pada prinsip-prinsip dalam Al-qur’an selalu sanggup menyelesaikan permasalahan hidupnya dan senantiasa bertindak bijaksana. Demikianlah, orang yang hidup dengan prinsip tersebut tak pernah merasakan frustasi, bagaimanapun rumit keadaan yang dihadapi. Karena itulah, dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai dan ajaran agama, tak seorang pun dari mereka yang tak dapat menyelesaikan masalahnya.
Ketika nilai agama tidak ditegakkan, manusia tidak menampakkan kemanusiaannya. Permasalahan sederhana sekalipun, tidak akan terselesaikan secara bijaksana dalam masyarakat tak beragama. Masyarakat demikian menghadapi kesukaran terus-menerus sepanjang hidupnya. Jangankan mencari penyelesaian, justru mereka mencari masalah dalam kesehariannya. Karena tak sanggup menyelesaikan masalah yang bertubi-tubi dalam setiap segi kehidupannya, mereka kemudian berputus asa dan menggugat. Sementara itu, karena gagal mempertahankan alasan, mereka tak mendapatkan satupun pemecahan. Bahkan jika mereka mendapatkannya, hal itu terbukti tidak rasional, karena yang mereka dapatkan berasal dari pemikiran dangkal.
Alasan utama mengapa masalah senantiasa tak terselesaikan dalam masyarakat yang jauh dari agama adalah anggota masyarakat sendiri tidak mampu menyelesaikan persoalan pribadinya. Seseorang yang tidak menyandarkan dirinya pada prinsip-prinsip agama akan mengatasi persoalannya dengan cara-cara mereka sendiri. Dalam hal ini, dia berusaha memuaskan diri sendiri tanpa mempertimbangkan kepentingan orang banyak. Dalam setiap tindakannya, dia tak mau menghadapi resiko, dan tak mau menghabiskan tenaga dan biaya, atau mengambil tanggung jawab yang bermanfaat bagi kepentingan orang lain.

2.      Faktor-faktor yang Menimbulkan Masalah
Diagnosis yang merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi masalah kehidupan manusia( Individu ), dapat dipastikan memiliki maslah, akan tetapi masalah kompleksitas masalah-masalah yang dihadapi individu tentulah berbeda-beda. Dan dalam mengklsifikasikan masalah sebagai berikut:
1.      Masalah individu yang berhubungan dengan Tuhannya, seperti sulit mengahdirkan rasa takut, merasa tidak bersalah atau dosa yang dilakukan, sulit menghadirkan rasa taat dalam diri individu tersebut. Individu yang  merasa bahwaTuhan senantiasa mengawasi prilakunya sehingga individu tidak memiliki kebebasan. Dampak seperti itu adalah timbbulnya rasa malas atau enggan melaksanakan ibadah dan sulit untuk meninggalkan perbuatan yang dilarang Tuhan.
2.      Maslah individu yang berhubungan dengan dirinya sendiri adalah kegagalan bersifat displin dan bersahabat dengan selalu mengajak dan membimbing kepada kebaikan dan kebenaran Tuhannya. Dampalnya adalah muncul sikap was-was, ragu-ragu, berprasangka buruk dan rendah motivasi dan dalam berprasangka buruk dan rendah motivasi dan dalam banyak hal tidak mampu bersikap mandiri.
3.      Masalah individu dengan lingkungan keluarga misalnya kesulitan atau ketidak mampuan mewujudkan hubungan harmonis antara anggota keluarga seperti antara anak-anak dengan bapak dan ibu. Kondisi ketidakmampuan harmonisan dalam keluarga menyebabkan anak merasa tertekan, kurang kasih sayang, dan kurangnya ketauladanan kedua orang tua.
4.      Masalah individu dengan lingkungan social misalnya ketidak mampuan melakaukan adaptasi baik dengan lingkungan tetangga, sekolah dan masyarakat atau kegagalan bergaul dengan lingkungan beraneka ragam watak dan sifat serta prilaku.
Dalam bagian ini akan diuraikan tentang beberapa faktor penyebab terjadinya masalah baik yang berasal dari dalam (intern) dan dari luar (ekstern) individu.  Faktor intern individu yang dapat menjadi sebab terjadinya masalah ada yang berasal dari kondisi fisik dan ada pula yang berasal dari kondisi psikisnya. Ditinjau dari kondisi fisik, terjadinya masalah antara lain dapat disebabkan oleh:
a.       Adanya kelainan atau cacat yang dapat menghambat perkembangan dan berbagai usahanya baik dalam belajar,bekerja,bergaul,dan sebagiannya.
b.      Dideritanya penyakit kronis yang mudah kambuh,seperti tekanan darah tinggi atau rendah, asma, penyakit lambung/maag, dan sebagiannya. Adanya penyakit demikian dapat merupakan hambatan bagi perkembangan dan berbagai usahanya,karena setiap melakukan tugas berat, berfikir berat,akan mudah kambuh penyakitnya.
c.       Mengalami sakit keras akibat kecelakaan yang mengakibatkan terjadinya kelemahan baik pada kondisi fisik maupun kondisi psikisnya.
Ditinjau dari kondisi psikisnya, terjadinya masalah antara lain dapat disebabkan oleh:
a.       Rendahnya tingkat kecerdasan yang dapat mempersulit usahanya untuk belajar,bekarja,bergaul dan sebagiannya.
b.      Bakat dan minat yang tidak sesuai dengan tugas yang dilakukan.
c.       Tipe suasana hati yang pesimis, yang menyebabkan oarangnya mudah pesimis setiap menghadapi kesulitan.
d.      Sering mengalami kegagalan dalam mengikuti ulangan atau ujian sehingga menimbulkan rasa enggan untuk belajar.

Sementara itu faktor ekstern yang dapat menjadi sebab timbulnya masalah antara lain :
a.       Terputusnya hubungan dengan orang yang sangat dikasihi, seperti mereka yang sedang dirundung kesedihan karena ditinggalkan ayah dan ibunya,dan yang sedang mengalami patah hati karena diingkari pacar yang sangat dicintai.
b.      Kekurangan sarana untuk belajar, bekerja, bergaul sehingga sulit melaksanakannya.
c.       Perlakuaan orangtua yang membatasi pergaulan anak-anaknya sehingga mereka mengalami kesulitan untuk bergaul karena tidak terlatih dalam pergaulan nampak canggung,kurang berani ikut bicara dan bergurau serta kurang terampil menggunakan bahasa pergaulan yang tepat.Disamping itu ada juga yang mengalami trauma berupa perlakuan buruk dalam pergaulan sehingga menimbulakan rasa takut untuk bergaul.perlakuan buruk yang dialami antara lain mereka yang sering diancam,diejek,dicemooh,dan lain-lain.

C.    Ayat Yang Menjelaskan Hakikat Masalah
Manusia pastinya sering beranggapan mengapa dirinya harus di uji. Al- Qur’an menjawab pertanyaan manusia itu di dalam surah Al-Ankabut surah ke 29 ayat 2-3 menjelaskan :



Artinya : “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”
Kata أَحَسِبَ dalam ayat ini bermakna zhanna (menduga, mengira). Sedangkan huruf hamzah di depannya merupakan istifhâm (kata tanya). Ibnu Katsir dan Sihabuddin al-Alusi menyimpulkan bahwa istifhâm dalam ayat ini bermakna inkâri (pengingkaran). Bisa juga, sebagaimana dinyatakan al-Syaukani, bermakna li al-taqrî' wa al-tawbîkh (celaan dan teguran). Artinya, mereka tidak dibiarkan begitu saja mengatakan telah beriman tanpa diuji dan dicoba seperti yang mereka kira. Mereka benar-benar akan diuji untuk membuktikan kebenaran pengakuan iman mereka.
Kata يُفْتَنُونَ berasal dari kata al-fitnah. Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para mufassir mengenai kata tersebut. Mujahid, sebagaimana dikutip Ibnu Jarir, memaknainya يُفْتَنُونَ  لا (mereka diuji). Menurut al-Nasafi, pengertian al-fitnah di sini adalah al-imtihân (ujian) yang berupa taklif-taklif hukum yang berat, seperti kewajiban meninggalkan tanah air dan berjihad melawan musuh melaksanakan seluruh ketaatan dan meninggalkan syahwat ,ditimpa kemis-kinan, paceklik, dan berbagai musibah yang melibatkan jiwa dan harta dan bersabar meng-hadapi kaum kafir dengan berbagai makar mereka.
Semua ujian itu berfungsi untuk membuktikan kebenaran iman seseorang. Dijelaskan Ibnu Katsir bahwa ujian yang diberikan itu sesuai dengan kadar keimanan pelakunya. Nabi SAW bersabda:” Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang shalih, kemudian berikutnya dan berikutnya. Seseorang dicoba sesuai dengan (kadar) agamanya. Ketika dia tetap tegar, maka ditingkatkan cobaannya”  (HR al-Tirmidzi).
Setelah menegaskan adanya cobaan untuk menguji keimanan manusia, Allah SWT berfirman dalam surah Al-Ankabut ayat ke 3 :
قَبْلِهِمْ مِنْ الَّذِينَ فَتَنَّا وَلَقَدْ
 Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka. “
Ayat ini memberitakan bahwa ujian keimanan itu tidak hanya diberikan kepada kalian, namun juga umat-umat terdahulu. Oleh karena itu, ujian keimanan merupakan sunnatul-Lâh yang berlaku di setiap masa. Dengan ujian dan cobaan itulah dapat diketahui pengakuan yang benar dan yang dusta.
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Ankabut ayat ke 3 ( lanjutan ayat diatas) :
صَدَقُوا الَّذِينَ اللَّهُ فَلَيَعْلَمَنَّ
Artinya : “Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar”.
Sebagai Dzat Yang Maha Mengetahui, Allah SWT telah mengetahui semua peristiwa, baik sebelum, sedang, maupun sudah terjadi. Dan mengetahui mana hambanya yang benar-benar beriman dan mana yang berdusta dengan imannya. Dengan melalui ujian dan berbagai masalah inilah manusia benar-benar di uji keimannannya. Dalam Al-qur’an cukup banyak diberitakan tentang orang-orang yang mampu membuktikan kebenaran imanan mereka sekalipun mendapatkan ujian yang besar. Dalam QS al-Shaffat [37]: 101-108, misalnya, dikisahkan ketegaran Ibrahim dan putranya dalam menghadapi al-balâ' al-mubîn (ujian yang nyata), berupa perintah menyembelih putranya. Perintah tersebut tentu merupakan ujian yang besar. Bagi Ibrahim, Ismail adalah perhiasan dunia yang paling dicintainya. Sementara bagi Ismail, nyawanya adalah harta paling berharga yang dia miliki. Namun mereka bersabar dengan perintah tersebut. Setelah terbukti ketaatan mereka, Allah SWT pun membatalkan perintah-Nya dan menebusnya dengan sembelihan yang besar.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Ankabut ayat ke 3 (masih lanjutan ayat diatas):
لْكَاذِبِينَ وَلَيَعْلَمَنَّ
Artinya : “Dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”.
Dengan ujian tersebut, akan terlihat pula orang-orang yang dusta pengakuannya. Pengakuan iman mereka hanya terbatas di mulut saja, tidak melebihi kerongkongan. Dalam Alquran juga banyak dikisahkan tentang kaum yang gagal membuktikan kebenaran iman mereka.
Seperti yang dikisahkan dalam Al-Qur’an pula kaum Munafik di Madinah. Ketika Madinah dikepung pasukan kaum Musyrikin, mereka mengatakan bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya hanya menjanjikan tipu daya dalam QS al-Ahzab [33]: 12). Tak hanya itu, mereka bahkan memprovokasi penduduk Yatsrib untuk pulang dari medan perang. Padahal sebelumnya mereka tekah berjanji kepada Allah untuk tidak mundur dari peperangan dalam QS al-Ahzab [33]: 13, 15). Sikap mereka itu menjadi bukti nyata bahwa keimanan mereka dusta.
 Allah SWT pun berfirman:




Artinya :“Kalau (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, kemudian diminta kepada mereka supaya murtad, niscaya mereka mengerjakannya; dan mereka tiada akan menunda untuk murtad itu melainkan dalam waktu yang singkat” QS. Al-Ahzab [33]: 14).
Demikianlah, keimanan yang benar pasti akan melahirkan ketaatan terhadap syariah-Nya. Oleh karena itu, keterikatan dan ketaatan terhadap syariah bisa dijadikan sebagai tolok keimanan seseorang. Ketika seseorang senantiasa terikat dan taat terhadap syariah, sesulit dan seberat apa pun, keimanannya telah terbukti benar. Sebaliknya, ketika tidak mau taat, apalagi menolak, tentulah keimanannya patut diragukan.
D.    Cara Menyelesaikan Masalah Menurut Al-Qur’an
Setiap manusia akan diuji dengan masalah. Tidak sedikit yang mencari solusi aneh bahkan ada yang menempuh dengan jalan mistis, padahal solusinya hanya dekatkan diri kepada Allah dengan ibadah dan tawakal. Ketika ada masalah tidak sedikit manusia yang memilih jalan yang tidak islami bahkan dengan menghalalkan berbagai cara, dicontohkan ketika orang terbelit masalah hutang dan membutuhkan materi untuk kebutuhan hidup tanpa diikuti denggan dikuti keimanan yang kuat, maka orang tersebut dapat dengan mudah terjerumus kemusyrikan diantaranya mencari pesugihan dan rezeki yang tidak halal, melakukan pencurian atau penipuan, serta menjual diri dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, islam mengajarkan kepada umatnya agar lebih bersifat tenang terlebih dahulu jika dihadapkan suatu perkara, tidak panik dan selalu berdoa serta memohon petunjuk kepada Allah.
Banyak hal yang harus diperhatikan bagi umat muslim agar dapat mengatasi suatu masalah tanpa harus menghalalkan segala cara dan terhindar dari perilaku yang dibenci oleh Allah SWT. Adanya suatu masalah tentu datangnya dari Allah SWT. Tak satupun manusia yang luput dari cobaan Allah, seseorang yang diberikan kesuksesan dan harta berlimpah maupun orang yang diberi kehidupan yang miskin, itu semua merupakan cobaan dari Allah SWT, ketika orang sudah mempunyai hidup yang berada dengan kekayaan yang berlimpah apakah orang tersebut masih ingat akan keberadaan Allah dan tidak bersikap takabur, serta menghindari hal-hal yag dilarang oleh Allah SWT. Umat muslim yang diberikan kekayaan berlimpah dari Allah SWT hendaklah dirinya selalu mengingat Allah dengan melaksanakan shalat dan menunaikan semua kewajibannya, seperti bersedekah ataupun berpuasa.
Jika dihadapkan dengan masalah berat yang harus ditentukan oleh pilihan-pilihan yang berat, maka hendaknya kita memohon petunjuk dengan shalat istikharah dan diikuti dengan puasa sunnah. Hendaklah setiap saat membaca istighfar dan selalu ingat kepada Allah SWT, bahwa semuanya datang dari Allah. Seperti dituliskan dalam firman Allah SWT.


Artinya :“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kamu mengingkari nikmatku,” QS. Al-Baqarah ayat 152.
            Jika anda diterpa masalah berat, janganlah panik dan bersikaplah lebih tenang seperti yang dianjurkan oleh Rasullulah SAW, di dalam sabdanya ” Jika engkau menghadapi suatu perkara, maka pelan-pelanlah (tenanglah), hingga Allah akan menunjukan kepadamu jalan keluarnya” (HR Bukhari).
Dari sini dijelaskan bahwa semua manusia sedang diuji kesabarannya, hendaklah di bersikap tenang dan hindari kemarahan. Marah adalah sifat dan perasaan emosiaonal yang wajar dan dimiliki oleh setiap manusia. Jika kemarahan sudah memuncak, orang yang sudah tidak bisa mengendalikan amarahnya, hendaklah cepat-cepat mengambil air wudlu, kemudian dirikanlah shalat.
Maka Allah akan memberi petunju
k dan membantunya dalam menyelesaikan masalah. Fungsi sikap tenang dan tidak mudah emosional adalah untuk menenangkan pikiran dan membantu kita untuk menyelesaikan masalah dengan pemikiran yang logis guna untuk mencari penyelesaian dari semua maslahnyang ada.











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Perspektif Al-Qur’an, bahwa masalah itu merupakan cubaan atau ujian dari Allah kepada setiap manusia, baik berupa kesusahan dan keburukan, maupun kebaikan atau kenikmatan, dimana manusia akan mendapatkan keberuntungan apabila mampu menerima dan mengatasi cobaan tersebut secara baik dan benar. Disamping berpikir rasional dengan memfungsikan akal secara maksimal dalam mendekati masalah, ada beberapa ide yang ditawarkan Al-Qur’an, yaitu  prinsip insya Allah bahwa segala usaha dan ikhtiar, tidak mesti akan selalu sesuai dengan harapan, meyakini bahwa disamping kesusahan pasti akan ada kemudahan, kesusahan dan keberuntungan akan selalu bergulir dalam kehidupan, segala yang terjadi pasti ada hikmahnya, bersikap sabar, dan sikap tawakkal kepada Allah Swt. Atas segala usaha yang telah dilakukan dengan sungguh-sungguh, terencana, dan penuh perhitungan.











DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzaky, H.B. 2001. Psikoterapi & Konseling Islam (Penerapan Metode Sufistik).Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Al-Maraghi M., 1993. Tafsir Al-Maraghi, Juz 4. Darul Fikri.
Vardiansyah, Dani.2008. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta.
http//:Al-QuranMenjawabJanganMengeluhdanJanganGelisah.html
http//:WelcometoSangKhalifah.Blog.htm


[1] Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Halaman 70

Komentar

Postingan Populer