Tafsir Ayat-Ayat Konseling
(TAFSIR
KELOMPOK 4 )
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Ketika
mannusia berfikir tentang kepribadian mereka biasanya menganggap kepribadian
itu sebagai pengaruh yang ditimbulkan seseorang terhadapa orang lain. Atau
menganggap nya sebagai kesan terpenting yang ditinggalkna seseorang kepada
orang lain. Mereka melihat orang tersebut sebagai sosok pribadi yang agresif
atau pribadi yang berwatak lembut. Adapun menurut psikolog kepribadian
merupakan struktur proses kejiwaan yang konstan yang mengatur pegalaman
individu, lalu membentuk tindakan dan respon terhadapa lingkungan tempat ia
hidup. Tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh manusia. Al-Quran sebagai sumber
utama ajaran islam berfungsi sebagai petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknay demi
kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat.
- Rumusan Masalah
1. Apa
itu kepribadian dalam Al-Quran ?
2. Bagaimana
strategi konselor ?
- Tujuan Penulisan
1. Agar
mahasiswa Bimbangan dan Konseling Islam khususnya mahasiswa UIN SU ataupun
pembaca dapat mengerti dan memahami kepribadian dalam Al-Quran itu.
2. Supaya
mahasiswa Bimbangan dan Konseling Islam khususnya mahasiswa UIN SU ataupun
pembaca dapat memahami serta mengetahui bagaimana strategi konselor itu.
BAB II
PEMBAHASAN
- Kepribadian Dalam Al-Quran
Dalam
Al-Quran terdapat penjelasan tentang kepribadian manusia dan karakteristik umum
yang membedakannya dengan makhluk lain. Juga terdapat uraian tentang beberapa
model umum kepribadian manusia yang dibedakan dengan beberapa ciri utama. Semua
ini merupakan model umum yang hingga sekarang hampir selalu dilihat dalam
masyarakat kita dan masyarakat umum. Dalam Al-Quran pun didapati penjelasan
tentang kepribadian yang lurus dan kepribadian menyimpang.
Dengan
proses penciptaan manusia, manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Manusia
memang sama dengan hewan dalam sebagian karakteristik fisik serat tuntutannya
dalam menjaga diri dan keturunannya, seperti dorongan, emosi, serta kemampuan
untuk mengamati dan belajar. Tetapi manusia berbeda dengan hewan dalam karakteristik
ruhnya, yang menjadikannya cenderung untuk mengenal Allah SWT dan beribadah
kepada-Nya, rindu akan karunia-Nya yang luhur yang akan mengangkatnya ke puncak
tertinggi kesempurnaannya. Itulah yang menjadikan manusia pantas menjadi
khalifah di muka bumi.
Dalam
kepribadian manusia terdapat sifat-sifat hewan yang tercermin dalam berbagai
kebutuhan fisik yang harus dipenuhi dalam rangka menjaga diri dan kelangsungan
jenisnya. Juga, terkandung sifat-sifat malaikat yang tercermin dalam kerinduan
ruhaninya untuk mengenal Allah SWT, beriman, menyembah, dan mensucikan-Nya.
Antara dua sisi kepribadian manusia ini terkadang terjadi konflik. Adakalanya
ia ditarik oleh kebutuhan-kebutuhan dan hawa nafsu fisiknya, di waktu lainnya
ia ditarik oleh kebutuhan-kebutuhan dan kerinduan ruhaninya. Dalam dirinya ia
merasakan adanya pertentanagn antara kedua sisi kepribadian tersebut. Al-Quran
sendiri menunjukkan adanya konflik psikis, antara aspek material dan spritual
dalam diri manusia tercantum dalam surah An-Nazi’at ayat 37-41 :
Artinya
:
“Adapun
orang yang melampui batas, dan lebih
mengetumakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal-(nya).
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri
dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal-(nya).”
Ungkapan,
“dan menahan diri dari keinginan hawa
nafsunya” menunjukkan adanya konflik psikis manusia, yaitu antara
kecenderungan pada hal-hal yang diinginkan hawa nafsu berupa kenikmatan indera
dan daya tarik kehidupan duniawi, dengan perlawanannya agar ia tidak hanyut
dalam hawa nafsu yang akan menyimpangkannya dari tuntunan kehidupan yang benar
sebagaimana telah digariskan Allah SWT kepada hamba-Nya. Karena itu barang
siapa yang dikalahkan oleh keinginan duniawi dan hawa nafsu inderawinya, serta
lupa untuk taat kepada Allah SWT, maka tempat kembalinya adalah neraka jahanam.
Adapun orang yang melawan hawa nafsu dan menahan dirinya agar tidak terhanyut
olehnya, takut berbuat maksiat, serta perjalanan hidupnya sesuai dengan
tuntunan yang telah digariskan Allah SWT maka surgalah tempat kembalinya dan
tempak tinggal-Nya kelak.
Barangkali
sudah menjadi kehendak Allah SWT, bahwa diantara kesulitan hidup yang dialami
manusia adalah adanya konflik psikis antara dua tuntunan tersebut.
“Sesungguhnya
kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah,”(QS al-Balad:4).
Al-Quran
menunjukkan perlunya menciptakan keseimbangan dalam kepribadian, melalui
firman-Nya.
“dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebhagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah SWT telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah SWT tidak menyukai orang-orang berbuat kerusakan.” (Qs al-Qashash:77)
Ketika
keseimbangan fisik dan ruhani tercapai, terpenuhilah identitas manusia dalam
bentuknya yang hakiki dan sempurna. Hal ini tercermin dalam kepribadian
Rasullah SAW yaitu adanya keseimbangan antara kekutan spiritual yang transparan
dan vitalitas fisik yang tinggi. Beliau juga menyembah Allah SWT secara benar
dalam keadaan suci dan khusyuk . adapun dalam kedudukannya sebagai manusia,
beliau hidup layaknya seperti manusia pada umumnya dengan senantiasa memenuhi
berbagai kebutuhan fisiknya yang sesuai dengan batas yang ditentukan agama.
Karena itu beliau mencerminkan sosok manusia sempurna dan kepribadian manusia
teladan yang seimbang antara kekuatan fisik dan spiritualnya.
Keseimbangan
dalam kepribadian manusia antara jasmani dan ruhani, tidak lain hanya
mencerminkan keseimbangan yang ada di alam semesta. Sebab, Allah SWT telah
menciptakan segala sesuatu dengan ukuran dan timbangan. Dalam uraian tentang
berbagai dorongan alamiah, konsep keseimbangan yang vital dalam tubuh dan
fungsi berbagai dorongan alamiah tersebut dalam memelihara tubuh agar tetap
dalam kondisi yang seimbang, ini merupakan hal yang penting untuk menjaga diri
dan kelangsungan hidup. Hanya saja keseimbangan dalam diri manusia tidak
terbatas pada keseimbangan biologisnya semata, tetapi mencakup kepribadian
secara keseluruhan, termasuk di dalamnya keseimbangan antara jasmani dan
ruhani.
- Tipe-Tipe Kepribadian Agama Islam
Penggolongan
manusia dalam beberapa tipe kepribadian berdasarkan kesamaan dalam ciri mereka
sebenarnya merupakan upaya yang membantu mendeskribsikan manusia dan
menafsirkan perilakunya disamping itu,
kita juga bisa memperkirakan jenis perilaku yang mungkin timbul darinya
pada situasi tertentu.
Dalam
Al-Quran kita mendapatkan pembagian manusia berdasarkan akidahnya kedalam 3
kelompok yaitu : mukmin, kafir, dan munafik. Masing-masing mempunyai ciri-ciri
pokok dan bersifat umum, yang membedakan satu dengan lainnya. Pembagian ini
juga menunjukkkan tentang pentingnya akidah dalam membentuk kepribadian yang
menentukan ciri-ciri khas dan dalam mengarahkan tingkah lakunya dalam tujuan
tertentu. Selain itu penggolongan ini menunjukkan bahwa faktor utama dalam menilai
kepribadian menurut Al-Quran adalah dari sisi akidah dan ketaqwaannya.
Allah berfirman Qs. Al-Hujarat ayat 13 :
Artinya
:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.”
Al-Quran
menunjukkan tiga tipe manusia yaitu mukmin, kafir, dan munafik. Qs. Al-Baqarah
membahas orang yang beriman dalam empat ayat (ayat 2-5), orang kafir dalam dua
ayat (ayat 6-7), dan orang munafik tiga belas ayat (ayat 8-20).
- Struktur Kepribadian Menurut Al-Quran
Struktur
kepribadian yang dimaksudkan disini adalah aspek-aspek atau elemen-elemen yang
terdapat pada diri manusia yang karenanya kepribadian terbentuk. Pemilihan
aspek ini mengikuti pola yang dikemukakan oleh khayr al-Din al-zarkali.
Menurut
al-Zakarli, bahwa studi tentang diri manusia dapat dilihat melalui tiga sudut,
yaitu :
1.
Jasad (fisik) apa dan bagaimana
organisme dan sifat-sifat uniknya.
2.
Jiwa (psikis) apa dan bagaimana hakikat
dan sifat-sifat uniknya.
3.
Jasad dan jiwa (psikofisik) berupa
akhlak ,perbuatan ,gerakan , dan sebagainya.
Ketiga
kondisi tersebut dalam terminologi Islam lebih dikenal dengan al-jasad, al-ruh,
dan al-nafs. Para ahli umumnya membedakan manusia dari dua aspek, yaitu jasad dan ruh. Mereka sedikit sekali
membedakan antara jasad, ruh dan nafs, padahal ketiganya memiliki
kriteria-kriteria tersendiri.
Al-Quran
memberikan arti nafs untuk penyebutan ruh (QS Al-Isra ayat 85) dan memberikan
arti ruh untuk penyebutan nafs (Qs. Al-an’am ayat 93) yang bunyinya :
Qs.
Al-Isra ayat 85 :
Qs.
Al-an’am ayat 93 :
Kata
ruh disebutkan dalam Al-quran sebanyak 21 kali, sedang kata nafs disebutkan
dalam bentuk tunggal sebanyak 116 kali, dalam bentuk jamak sebanyak 155. Ruh
dapat berarti amin al-wahiy (QS. Al-syu’ara:193, An-Nahl:102) rahasia Tuhan yang
menjadikan tubuh manusia hidup (QS. Al-Hijr:29), Al-Sajdah:9, Al-Tahrim:12),
juga termasuk rahasia Tuhan yang tak satu manusia pun mengetahui hakikatnya
(QS. Al-Isra :85), sedangkan nafs merupakan substansi yang di dalamnya terdapat
unsur fisik dan psikis.
Ibn.
Qayyim al-Jawziyyah berpendapat bahwa nafs dalam Al-quran tidak disebutkan
untuk substansinya sendiri (QS. Al-Nur :61 , An-Nahl :111, Al-Muddasir :8,
Al-Fajr :27, Al-An’am :93, Al-Nazi’at :40, dan Yusuf :53), sedang ruh untuk
substansinya sendiri, sehingga tidak terikat oleh badan (QS. Al-Syura :53).
Berdasarkan
penjelasan diatas maka aspek-aspek/struktur kepribadian diri manusia dibagi
menjadi tiga bagian yaitu :
1.
Aspek fisik yang disebut dengan struktur
jismiyyah dan jasadiyyah.
2.
Aspek psikis yang disebut dengan
struktur ruhaniyyah.
3.
Aspek psikofisik yang disebut dengan
struktur nafsaniyyah.
- Strategi Konseling Menurut Al-Quran
Metode
dalam konseling islam berhubungan dengan strategi konseling menurut islam
Untuk mencapai tujuan
konseling islami yang telah ditentukan yakni:
1. Metode
Penyesuaian
Dengan berangkat dari individual differencess, layanan konseling islami lebih cenderung
memperhatikan segi perbedaan individu daripada segi persamannya. Metode
penyesuaian ini dimaksdukan terutama sebagai kesesuaian layanan bagi
masing-masing individu berdasarkan problemanya. Pola solution yang ditawarkan
pada konseli hendaknya dapat dipahami oleh konseli sesuai dengan keadaan dan
kondisinya.Dalam hal ini, konselor dituntut untuk memiliki keahlian dalam
menyesuaikan metode dengan keunikan konseli.
Mengenai penyesuaian beban dan kewajiban pada
manusia berdasarkan kemampuannya dinyatakan oleh Allah SWT dengan memberikan
keringanan. Dalam hal ini, perbedaan-perbedaan yang dimiliki tentunya menjadi
pertimbangan-pertimbangan untuk tetap menyesuikan beban dan kewajiban manusia
berdasarkan kadar kemampuan yang dimilikinya. Keterangan ini dapat dilihat
secara jelas dalam surah Al-Baqarah ayat 233 dan 286, surah An-Nisa ayat 48,
surah Al-An’am ayat 152, surah Al-A’raf ayat 42, surah Al-Mukminun ayat 62,
surah Shad ayat 86, dan surah Ath-Thalaq ayat 7.
Atas dasar itulah maka konseling islami harus berangkat
dari kondisi objektif klien sehingga ia dapat memahami, menerima dan
melaksanakan nasehat-nasehat yang diberikan konselor serta akan lebih terjamin
hasilnya.
2. Metode
Kedinamisan
Konseling
Islam sebagai upaya pemberian bantuan agar konseli dapat mengalami perubahan
kearah yang lebih baik, adalah berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia itu
makhluk dinamis. Justru itu, perubahan tingkah laku konseli tidak sekedar
mengulang-ngulang hal-hal lama dan bersifat monoton, tetapi perubahan dengan
senantiasa menuju kepada pembeharun yang lebih maju.
Kemampuan
manusia untuk berubah kearah yang lebih baik telah dinyatakan Allah dengan
tegas, sebagaiamana dapat dilihat dalam surah Ar-Ra’ad ayat 11, dimana Allah
menegaskan bahwa perubahan itu akana ada jika manusia mempergunakan kemampuan
untuk itu. Indikasi dinamika manusia antara lain adalah kemampuannya menangkap
ilmu sebagai predikat tertinggi bagi makhluk Allah. Hal ini dapat dilihat
penjelasannya dalam surah Al-Baqarah ayat 31, yang menerangkan bahwa Allah mengajarkan
Ilmu kepada Adam berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Selain itu, dapat pula
dilihat bagaimana Allah menjelaskan bahwa perubahan yang dilakukan oleh manusia
dengan sungguh-sungguh akan membuahkan hasil yang memuaskan. Dalam surah
Al-Ankabut ayat 69 Allah memberi jaminan terhadap jihad yang dilakukan manusia
untuk sampai pada hasil sebagaimana diharapkan. Karena konselor diharapkan
dapat membantu perubahan konseli, maka ia dituntut untuk melakukan kegiatan
secara dinamik agar dapat diantarkan ke arah perubahan yang lebih baik.
Dalam
proses Konseling Islami konselor diharapkan dapat memberi perhatian yang besar
terhadap perubahan hati konseling, dan berupaya mengarahkannya untuk mencintai
ilmu dan hikmah, agar ia dapat mendinamisir dirinya sendiri.
(TAFSIR
KELOMPOK 6 )
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hawa atau nafsu merupakan salah
satu karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia, dengan adanya nafsu manusia
dapat menikmati kehidupan, merasakan kebahagiaan, punya keinginan untuk hidup
berkeluarga dan memiliki keturunan (al-Qur’an surah Ali Imran ayat 14). Manusia
wajib mensyukuri keberadaan nafsunya, tetapi di samping itu manusia wajib pula
untuk selalu waspada terhadap sifat dan kekuatan nafsu yang selalu mendorongnya
kepada kejahatan (al-Qur’an surah Yusuf ayat 53). Jika manusia selalu menuruti
kehendak nafsunya maka hati nurani dan akalnya akan tertutup sehingga manusia
akan terjerumus dalam kesesatan, kejahatan dan kesengsaraan (al-Qur’an surah
al-Jaatsiyah ayat 23).
Nafsu akan membawa manusia kepada
kebahagiaan jika nafsu berjalan di bawah pengawasan serta bimbingan hati nurani
dan akal yang dilandasi iman. Sebaliknya, jika dorongan-dorongan nafsu
mengalahkan hati nurani dan akal, maka manusia akan tersesat dalam kejahatan
dan kesengsaraan, manusia tidak akan memperoleh ketenangan dan kebahagiaan
dalam hidupnya.
Dari simpulan tentang pribadi sehat
seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, dapat diambil pemahaman terbalik
untuk merumuskan konsep pribadi yang tidak sehat. Pribadi yang tidak sehat
ialah pribadi yang hati dan akalnya tidak dapat berfungsi dengan baik, sehingga
dirinya dikuasai oleh kekuatan nafsunya yang selalu mendorong kepada kejahatan,
mengejar kenikmatan duniawi dan melupakan kehidupan ukhrawi.
Pribadi yang tidak sehat akan
melahirkan sifat dan perilaku yang buruk (akhlaq al-sayyi’ah). Sifat dan
perilaku yang buruk (akhlaq al-sayyi’ah) antara lain seperti al-Jaza’ (berkeluh
kesah) dan al-ghadlab (pemarah).
1.2
Rumusan Masalah
1.
Pengertian
Pribadi Tidak Sehat?
2.
Macam-Macam
Pribadi Tidak Sehat?
1.3
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian pribadi tidak sehat.
2.
Untuk
mengetahui apa saja pribadi tidak sehat.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Pribadi Tidak Sehat
Pribadi
tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan
diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Pribadi
yang tidak sehat ialah pribadi yang hati dan akalnya tidak dapat berfungsi
dengan baik, sehingga dirinya dikuasai oleh kekuatan nafsunya yang selalu
mendorong kepada kejahatan, mengejar kenikmatan duniawi dan melupakan kehidupan
ukhrawi.
Pribadi yang tidak sehat akan
melahirkan sifat dan perilaku yang buruk (akhlaq al-sayyi’ah). Sifat dan
perilaku yang buruk (akhlaq al-sayyi’ah) antara lain seperti al-Jaza’ (berkeluh
kesah) dan al-ghadlab (pemarah). Sedangkan Al-Qur’an menambahkan
tentang pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah
SWT.
1.
Tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan
diri sendiri
Menurut
konsep konseling, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri sendiri dalam
hubungannya dengan diri sendiri memiliki pokok :
a.
Ego tidak berfungsi penuh serta tidak serasinya antara
id, ego, dan sper ego
b.
Dikuasai kecemasan
c.
Tetutup
d.
Rendah diri dan putus asa
e.
Sumber evaluasi eksternal
f.
Tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung
jawab
g.
Kurangnya kesadaran diri
h.
Terbelenggu ide tidak rasional
i.
Menolak diri sendiri
Al-Qur’an
menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan
diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik
dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh emosi,
tidak terkendali dan tidak bermoral.
2.
Tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan
orang lain
Menurut
Adler, pribadi yang tidak mampu mengatur
diri dalam hubungannya dengan orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok:
a.
Egois dan tidak mau menyumbang dan lebih suka menerima
b.
Memandang diri sendiri benar sedangkan orang lain
tidak
c.
Tidak konstruktif
d.
Memenuhi kebutuhan
sendiri dengan tidak peduli (merampas) hak orang lain
Al-Qur’an
menerangkan, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan
orang lain adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang
atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan, tidak mau saling menolong,
memiliki sifat marhun dan takabbur.
3.
Tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan
lingkungan
Menurut
konsep konseling seperti dikemukakan dalam terapi Adeler dan terapi Behavioral,
bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungan lingkungan adalah
pribadi yang tidak mampu berinteraksi dan mengelola lingkungannya secara baik,
sehingga bisa melakukan hal-hal yang membuat lingkungan menjadi rusak.
Senada
dengan konsep konseling di atas, al-Qur’an menerangkan bahwa pribadi yang tidak
mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang
tidak mampu berinteraksi dengan lingkungannya secara baik, sehingga ia tidak
peduli dengan kerusakan lingkungan, dan tidak mampu membuat lingkungannya
menjadi kondusif bagi kehidupan.
4.
Tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan
Allah SWT
Menurut
al-Qur’an pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah
antara lain adalah pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi yang kufur adalah
pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syariat Allah. Kesalahan yang
sangat fatal terhadap Allah SWT adalah syirik, yaitu “menyekutukan Tuhan”.
2.1 Macam–Macam
Pribadi tidak Sehat Menurut Al- quran.
2.2.1 Dendam
Dendam berarti keinginan yang keras yang terkandung dalam hati
untuk membalas kejahatan. Orang yang
selalu ingin membalas kejahatan dengan kejahatan disebut pendendam. Dendam
sering terjadi karena adanya sebagian anggota masyarakat melakukan hal-hal yang
tidak terpuji. Allah berfirman dalam Q.S. Asy-syura’ ayat 39-40.
Untuk menghindarkan kesan lemah dan tidak memiliki harga diri, ayat
di atas menekankan bahwa: Dan yang
akan memperoleh kenikmatan abadi itu
juga adalah orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan
zalim---mereka---yakni mereka sendiri dengan kekuatan mental dan fisiknya, mereka selalu saling membela dengan pembelaan yang sesuai dengan kondisi yang
mereka hadapi sehingga penganiayaan tersebut tidak berlanjut, pelakunya pun
menjadi jera,dan balasan suatu kejahatan,
apa pun kejahatan itu, adalah kejahatan
yang serupa lagi seimbang. Ini demi wujudnya keadilan dan hilangnya dendam
bagi yang dizalimi.
Selanjutnya, karena syarat keserupaan dimaksud tidak mudah
diterapkan ayat diatas melanjutkan bahwa: Maka
barang siapa memaafkan, yakani sedikit pun tidak menuntut haknya, atau
mengurangi tuntutannya sehingga tidak terjadi pembalasan yang serupa itu, lalu
menjalin hubungan harmonis dan berbuat
baik terhadap orang yang pernah menganiayanya secara pribadi, maka pahanya dia akan atas jaminan dan tanggungan Allah.Hanya Allah yang mengetahui betapa
hebat dan besarnya pahala itu.
Anjuran memaafkan dan berbuat baik itu adalah agar tidak terjadi
pelampauan batas atau penempatan sesuatu bukan pada tempatnya karena sesungguhnya Dia Yang Maha Esa dan Kuasa
itu tidak menyukai, yakni tidak
melimpahkan rahmat bagi, orang-orang
zalim yang mantap kezalimannya sehingga melanggar hak-hak pihak lain.
[1]Kata ( ) yantashirun di ambil dari kata ( ) nashara,
yakni membantu/membela. Ar-Raghib
al-Ashfahani memahami kata ( ) al- intishar dan ( ) al- istinshar dalam arti meminta bantuan. Atas dasar itu, kata
tersebut mengandung arti saling membantu.
Hal ini mengisyaratkan bahwa kaum mukminin selalu memelihara persatuan dan
kesatuan juga, apabila seseorang di
antara mereka ditimpa kesulitan atau penganiayaan, kaum mukminin akan terampil
membantunya.
Al-Biqa’i berfirman: (
) innahu la yuhibbu azh-zhalimin/
sesungguhnya Dia tidak menyukai
orang-orang zalim dipahami oleh sementara ulama sebagai makna bahwa Allah
bukannya menganjurkan untuk memaafkan yang zalim itu karena Dia senang
kepadany, tetapi Dia pada hakikatnya tidak menyukainya. Anjuran ini disebabkan
Allah hendak memberi ganjaran bagi yang teraniaya dan memberikan maaf karena
cinta-Nya kepada ihsan dan orang-orang
muhsin.Atau, dapat juga
mengisyaratkan bahwa Allah tidak menyukai siapa yang melampaui batas dalam
membalas karena pelampauan batas dalam pembalasan itu pun adalah penganiayaan.
2.2.2 Putus Asa
Putus asa
berarti habis harapan, tidak ada harapan lagi. Seseorang dikatakan putus asa
apabila tidak lagi mempunyai harapan tentang sesuatu yang semula hendak
dicapai.
Penyebab
seseorang putus asa biasanya karena terjadinya kegagalan yang berulang kali
dalam mencapai cita-cita atau pengharapan sesuatu. Sebenarnya, penyebab
utamanya bukanlah persoalan yang dihadapi semata-mata, melainkan cara menyikap
persoalan tersebut.
Orang putus
asa berarti kehilangan semangat dan ghairah untuk mencapai sesuatu yang semula
diharapkan. Putus asa biasanya diikuti dengan sikap masa bodoh, tidak mau lagi
berusaha. Islam mendidik umatnya agar tidak putus asa dari rahmat Allah. Allah
swt. Berfirman dalam Q.S. Yusuf: 87 sebagai berikut:
Artinya:
“Hai anak-anakku, Pergilah, Maka cari tahulah tentang Yusuf dan
saudaranya, dan jangan berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".(Q.S
Yusuf:87)
Walaupun
ayat di atas berkaitan dengan sejarah Nabi Yusuf a.s., namun dapat diambil
pengertian secara umum bahwa setiap muslim hendaknya tidak putus asa dalam
menghadapi masalah apapun.
Putus asa termasuk akhlak madzmumah, maka dampatnya
amat negatif bagi dirisendiri dan orang lain. Setiap muslim harus menghindari
diri dari putus asa. Cara untuk menghindarinya, antara lain:
1. Merenungi
kegagalan yang dialami orang lain sehingga dapat memperoleh perbandingan dari
pengalaman pahit orang lain.
2. Selalu yakin
bahwa Allah akan memberi jalan keluar atas persoalan yang dihadapi apabila
dirinya dekat dengan Allah swt.
Karena, itu hai anak-anakku, pergilah, maka cari tahulah dengan
bersungguh-sungguh dan dengan seluruh indra kamu berita tentang Yusuf dan saudaranya. Benyamin, siapa
tahu kamu bertemu dengan beritanya atau keduanya dan jangan berputus asa dari rahmat, kemudahan, dan pertolongan Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari
rahmat Allah melainkan kaum yang kafir yang sangat mantap kekufurannya.
Adapun orang beriman, dia selalu bersikap optimistis dan tidak putus berusaha
selama masih ada peluang yang tersedia. Allah SWT kuasa menciptakan sebab-sebab
yang memudahkan pencapaian harapan.
Kata tahasasu terambil dari kata tahasasa
yang asalnya dari kata hiss yang
bermakna indra. Yang dimaksud disini adalah upaya sungguh-sungguh untuk mencari
sesuatu, baik berita maupun barang, baik terang-terangan maupun
sembunyi-sembunyi, untuk kebaiakn maupun keburukan. Ia berbeda dengan kata tajassus yang digunakan untuk memata
matai sesuatu, mencari beritanya yang buruk secara sembunyi sembunyi.
Kata rauh ada yang memahaminya bermakna napas. Ini karena kesedihan dan kesusahan menyempitkan dada dan
menyesakkan napas. Sehingga, bila seseorang bisa bernafas dengan baik, dada
menjadi lapang. Dari sisi, lapangnya dada diserupakan dengan hilangnya
kesedihan dan tertanggulanginya problema. Ada juga yang memahami kata rauh seakar dengan kata istirahah, yakni hati beristirahat dan
tenang. Dengan demikian, ayat ini seakan-akan menyatakan jangan berputus asa
dari datangnya ketenangan yang bersumber dari Allah SWT.
Nabi Yaqub a.s pada ayat diatas hanya
memerintahkan mencari berita Yusuf a.s dan seorang saudaranya yaitu Benyamin.
Beliau tidak menyuruh mencari anaknya tertua. Ini agaknya karena diketahui
keberadaannya di Mesir dan itu atas kehendaknya sendiri. Berbeda dengan Yusuf
yang dianggap hilang atau Benyamin yang mereka duga berada ditangan orang lain
dan diperbudak.
Ayat diatas menyatakan bahwa :
“sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat
Allah melaikan kaum yang kafir,” yakni yang mantap kekufurannya. Ini
berarti bahwa keputus asaan identek dengan kekufuran yang besar. Seseorang yang
kekufurannya belum mencapai peringkat itu, dia biasanya tidak kehilangan
harapan. Sebaliknya, semakin mantap keimanan seseorang, semakin besar pula
harapannya. Bahwa keputus asaan hanya layak dari manusia durhaka karena mereka
menduga bahwa kenikmatan yang hilang tidak akan kembali lagi. Padahal,
sesungguhnya kenikmatan yang diperoleh sebelumnya adalah berkat anugerah Allah
jua, sedang Allah SWT Maha hidup dan terus menerus Wujud. Allah SWT dapat
menghadirkan kembali apa yang telah lenyap, bahkan menambahnya sehingga tidak
ada tempat bagi keputus asaan bagi yang beriman.[2]
2.2.3
Kikir
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kikir diartikan sebagai sikap
mental pelik dalam menggunakan hartanya. Sikap kikir tidak hanya terjadi pada
sesuatu yang berkaitan dengan materi, tetapi juga terjadi pada non materi seperti kikir dalam
memberi perhatian, kasih sayang dan dalam memberi nasehat dan petunjuk untuk
kebaikan orang lain. Sifat kikir menunjukkan kekerdilan iman di jiwa. Menurut
Rasulullah, dalam jiwa seseorang, tidak mungkin bersatu iman dan kikir. (HR.
At- Thayalis).
Allah telah memberi tuntunan kepada umat mukmin tentang etika membelanjakan
harta, baik untuk dirinya maupun orang lain, antara lain seperti yang disebut
pada ayat berikut:
Artinya:
“Dan janganlah engkau jadikan
tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah engkau terlalu mengulurkannya
karena itu menjadikanmu duduk tercela dan tidak memiliki kemampuan”. (Q.S al-Isra: 29)
Melalui ayat ini, Allah mengingatkan bahwa sikap terlalu kikir menggunakan
harta terhadap dirinya dan orang lain adalah hina. Demikian juga terlalu pemurah,
karena sikap ini sering membuat seseorang menyesal yang mengakibatkan kehampaan
nilai ibadah. Sikap yang baik dan dipuji ialah sikap hemat dalam arti
sederhana, tidak terlalu kikir dan tidak pula terlalu dermawan.
Ada juga yang bakhil ilmu yaitu orang yang dikaruniai kelebihan kecerdasan
dan kepandaiannya sehingga banyak ilmu, akan tetapi hanya digunakan untuk
kepentingan pribadinya dan tidak mau memanfaatkan ilmunya yang dimilikinya
untuk kepentingan masyarakat. Padahal, ilmunya sangat dibutuhkan oleh orang
lain, bangsa, negara dan agamanya.
Orang yang kikir tidak hanya merugikan orang lain, akan tetapi dapat pula
merugikan dirinya sendiri, karena orang yang kikir tidak akan diterima, disukai
dalam pergaulan masyarakat, bahkan di akhirat kelak pun akan menerima siksaan.
Setelah ayat yang lalu memerintahkan
agar bermurah tangan dan hati, kini dilarangnya melakukan lawannya yaitu: Dan jangan lah engkau enggan mengulurkan
tanganmu untuk kebaikan seakan-akan engkau jadikan
tanganmu terbelenggu dengan belenggu kuat yang terikat ke lehermu sehingga engkau tak dapat mengulurkannya dan janganlah juga engkau terlalu mengulurkannya sehingga berlebih-lebihan dalam
berinfak karena itu menjadikanmu duduk tidak
dapat berbuat apa-apa, lagi tercela oleh
dirimu sendiri atau orang lain karena boros, berlebih-lebihan, dan menyesal tidak memiliki kemampuan karena telah kehabisan harta.
Kata mahsuran terambil dari kata hasara
yang berarti tidak berbusana, telanjang, atau tidak tertutup. Seseorang
yang tidak memakai tutup kepala dinamai hasiru
ar-Ras. Seseorang yang keadaannya tertutup, dari segi rezeky adalah yang
memiliki kecukupan sehingga ia tidak perlu berkunjung kepada orang lain dan
menampakkan diri untuk meminta karena itu berarti dia membuka kekurang atau aibnya.
Ada juga alulama yang berpendapat
bahwa kata tersebut terambil dari kata hasir
yang digunakan untuk menujuk binatang yang tidak mampu berjalan karena
lemahnya sehingga berhenti tinggal ditempat. Demikian juga pemboros, pada
akhirnya akan berhenti dan tidak mampu melakukan aktifitas, baik untuk dirinya
sendiri apalagi bagi orang lain, sehingga terpaksa hidup tercela.
Ayat ini merupakan salah satu ayat
yang menjelaskan salah satu hikmah yang sangat luhur, yakni kebajikan yang merupakan
pertengahan antara dua ekstrim.
Keberanian adalah pertengahan antara kecerobohan dan sikap pengecut.
Kedermawanan adalah pertengahan antara pemborosan dan kekikiran demikian
seterusnya.
Sementara ulama menjadikan kata maluman/tercela merupakan dampak dari
kekikiran, sedang mahsuran/tidak memiliki
kemampuan adalah dampak dari pemborosan.[3]
2.2.4 Lalai
Kelalaian
merupakan lawan dari tafakkur. Dari sisi pandang akhlak, setiap kali tafakkur
dan perenungan yang semakin tinggi maka hal itu akan menyebabkan ketinggian dan
kesempurnaan manusia. Sebaliknya kelalaian, betapapun kecilnya, dia pasti akan
menjerumuskan manusia hingga ketingkatan hewan, dan bahkan lebih rendah lagi.
Allah swt berfirmanQS. Al-a’raf:179
Artinya:
“dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah ) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.”
Bagi
orang-orang yang kelalaian telah menguasai hati mereka, mereka mempunyai mata
namun mereka tidak dapat melihat dengan mata itu, mereka mempunyai telinga
namun mereka tidak dapat mendengar dengan telinganya, dan mereka mempunyai hati
namun mereka tidak dapat memahami dengan hatinya, mereka itulah sebagai binatang,
bahkan mereka lebih sesat lagi. Sifat kelalaian merupakan kebaliakan dari sifat
sadar dan mawas diri, dia mendorong manusia kepada kehancuran, dan dia
mendorong kepada kehilangan dunia sebagaimana kehilangan akhirat.
2.2.5
Was-was
Was-was
adalah lawan dari yakin. Was-was merupakan sifat tercela, dan terhitung lebih
berbahaya dari sifat bodoh. Was-was merusak agama seseorang dan akhiratnya, dan
juga mendorongnya kepada kesengsaraan.
Was-was
menurut bahasa berarti dendangan, yaitu lintasan-lintasan pikiran. Al-qurqn
Al-karim menyebutkam bahwa sesungguhnya was-was hanya bagi mereka yang lemah
hubungannya dengan Allah SWT. Lintasan-lintasan pikiran yang buruk itu berasal
dari teman yang buruk, dan juga akan mengena kepada teman yang buruk pula.
Setan membisikkan kepada teman-temannya, dari kalangan orang-orang yang fasik
dan banyak berbuat dosa, untuk membantah kamu. Allah berfirman dalam QS.
An-Nas:1-6
Artinya:
“Katakanlah:
“Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja
manusia. Sembahlah manusia. Dari kejahatan (bisikan) syhaitan yang biasa
bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari
(golongan) jin dan manusia.”
QS.Az-Zukhruf:36
Artinya:
“Barang
siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (Al-quran), kami
adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) Maka syaitan itulah yang menjadi
teman yang selalu menyertainya.”
Ayat
diatas mengatakan bahwa orang yang tidak memperkuat hubungannya dengan Allah
SWT, orang yang tidak mengerjakan shalat pada awal waktunya dan orang yang
lalai dari mengingat Allah SWT. Maka syaitan akan mendatangi dan menemaniya
selalu. Syaita akan selalu menyertainya dan akan meniupkan bisikan-bisikan
kepadanya dan memasukkan kesesatan di dalam hatinya.
2.2.6
Rakus dan Serakah
Rakus
dan serakah disebut juga tamak. Secara istilah berarti terlampau besar nafsunya
terhadap keduniaan, misalnya terhadap kekayaan harta benda. Orang yang
terlampau besar nafsunya untuk memiliki harta mencurahkan pikiran dan tenaga
agar dapat harta kekayaannya semakin banyak. Allah menciptakan dunia ini
sebagai sarana kehidupan manusia. Tanpa harta, manusia susah hidupnya, namun
dengan harta pula, manusia dapat celaka. Larangan bersikap tamak atau rakus
terungkap dalam firman Allah swt. Beriut ini dalam QS. Al-Hadid:20
Artinya:
“Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-bangga
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnya
kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan
ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain
hanyalah kesenangan yang menipu.”
Menghindari
diri sifat atau rakus berarti berusaha memiliki sifat qanaah. Adapun upaya
untuk menghindari dari sifat rakus, antara lain:
- Sering memperhatikan kehidupan orang yang di bawahnya agar dapat mensyukuri nikmat yang diterima dari Allah swt.
- Mengurangi perhatiannya terhadap orang-orang yang di atasnya agar tidak terpengaruh olehnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pribadi
tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya
dengan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Pribadi yang tidak sehat ialah pribadi
yang hati dan akalnya tidak dapat berfungsi dengan baik, sehingga dirinya
dikuasai oleh kekuatan nafsunya yang selalu mendorong kepada kejahatan,
mengejar kenikmatan duniawi dan melupakan kehidupan ukhrawi.
Pribadi yang tidak sehat akan
melahirkan sifat dan perilaku yang buruk (akhlaq al-sayyi’ah). Sifat dan
perilaku yang buruk (akhlaq al-sayyi’ah) antara lain seperti al-Jaza’ (berkeluh
kesah) dan al-ghadlab (pemarah).
DAFTAR
PUSTAKA
Shihab M. Quraih, 2002. Tafsir Al-Mishbah, Surah Asy- Syura’. ( Jakarta: Lentera Hati)
Shihab M. Quraish, 2002. Tafsir Al-Misbah, Surah Yusuf. (Jakarta: Lentera Hati)
Shihab M. Quraish, 2002. Tafsir Al-Misbah, Surah Isra. (Jakarta:Lentera
Hati)
Komentar
Posting Komentar