Makalah HAKIKAT MANUSIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
KATA
PENGANTAR
Puji syukur yang sedalam-dalamnya
kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan Makalah Filsafat Pendidikan Islam
yang berjudul “ HAKIKAT MANUSIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM “ ini dapat di selesaikan. Makalah ini
merupakan wujud dari gagasan perlunya referensi untuk mata kuliah Filsafat
Pendidikan Islam. Kemudian makalah ini diintergrasikan dengan
pemikiran-pemikiran dari ahli lain dan konsep-konsep yang baru berkembang.
Makalah ini mendapat banyak tambahan materi yang disesuaikan dengan sistematiika
pemikiran dari sisi prosedur.
Akhirnya,
Semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan para pembaca,
oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan sehingga terdapat
kesempurnaan pada makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan arti dalam
pengembangan pendidikan yang akan datang. Amien.
Medan,26
November 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….i
DAFTAR
ISI……………………………………………………………………..ii
PENDAHULUAN
BAB I
a.
Latar Belakang…………………………………………………………….1
b.
Rumusan Masalah…………………………………………………………2
c.
Tujuan Penulisan………………………………….……………………….2
PEMBAHASAN
BAB II
a.
Pengertian Hakikat Manusia………………………………………………3
b.
Hakikat Manusia dan Implikasinya
terhadap
Pendidikan Islami…………………………………………………………9
PENUTUP
a. Kesimpulan…………………………………………………………..13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang
Dalam Al-Qur’an, manusia berulang kali diangkat derajatnya,
dan berulang kali juga direndahkan. Manusia dihargai sebagai khalifah dan
makhluk yang mampu menaklukan alam (taskhir).
Namun, posisi ini bisa merosot ke tingkat “yang paling rendah dari segala yang
rendah” (asfala safilin).
Gambaran menyangkut keberadaan manusia itu menandakan bahwa
makhluk yang namanya manusia itu unik, makhluk yang serba dimensi, ada di
antara predisposisi negative dan positif. Penciptaan manusia sebagai mahluk yang tertinggi sesuai dengan maksud dan
tujuan terciptanya manusia, yaitu untuk menjadi khalifah.
Dalam memahami manusia tentu harus dipedomani dengan
pandangan islam sebagai tolak ukur yang mendasar untuk mengetahui sesungguhnya
apa hakikat manusia. Dalam pandangan Islam manusia tercipta dari dua unsur
yaitu unsur materi dan non materi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa manusia secara
hakikatnya yang ditinjau dari kualitas dan kuantitas dalam pandangan pendidikan islam merupakan gabungan dua unsur yang
terdiri dari unsur jasmani dan unsur rohani.
Adapun
salah satu kemampuan yang dimiliki manusia yakni kemampuan menalar. Kemampuan
menalar inilah yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang
merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaan-Nya. Secara simbolik manusia memakan buah
pengetahuan lewat Adam dan Hawa, dan setelah itu manusia harus hidup berbekal
pengetahuan. Dia mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak untuk dirinya.
Jadi, manusia adalah salah satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan
secara bersungguh-sungguh. [1]
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian dari hakikat manusia ?
2. Bagaimana
implikasinya terhadap pendidikan Islam ?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah ini yaitu agar para pembaca dapat mengetahui apa sebenarnya
hakikat seorang, serta pandangan dari sisi ilmu pengetahuan dan implikasinya
terhadap pendidikan islami.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hakikat Manusia
Manusia adalah satu kata yang
sangat bermakna dalam, dimana manusia adalah makhluk yang sangat sempurna dari
makhluk-makhluk lainya. Makhluk yang sangat spesial dan berbeda dari makhluk
yang ada sebelumnya. Makhluk yang bersifat nyata dan mempunyai akal fikiran dan
nafsu yang diberikan Tuhan untuk berfikir, mecari kebenaran, mencari Ilmu
Pengetahuan, membedakan mana yang baik atau buruk, dan hal lainya.
Karena begitu banyak kesempurnaan
yang di miliki manusia tidak terlepas dari tugas mereka sebagai khalifah di
Bumi ini. Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah
baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas
dan kesejatian semulia itu. Manusia
sebagai subjek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya,
disamping itu adapula kecenderungan-kecenderungan ke arah yang tidak baik. Al-Qur'an juga menegaskan kualitas
dan nilai manusia dengan menggunakan empat macam istilah yang satu sama lain
saling berhubungan, yakni al-insan
,an-naas ,al-basyar, dan bani
Adam :[2]
a. Manusia
disebut al-insan karena dia sering
menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan.
b. Sedangkan
kata an-naas (terambil dari kata an-naws yang berarti gerak dan ada juga
yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata unaas
yang berarti nampak digunakan untuk
menunjukkan sekelompok manusia baik dalam arti jenis manusia atau sekelompok
tertentu dari manusia.
c. Manusia
disebut al-basyar, karena dia
cenderung perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan.
d. Manusia
disebut sebagai bani Adam karena dia menunjukkan pada asal-usul yang bermula
dari nabi Adam as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya,
dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali.
Sebagai
kesimpulan dapatlah di terangkan bahwa kualitas manusia berada diantara naluri
dan nurani. Dalam rentetan seperti itulah manusia berperilaku, baik perilaku
yang positif maupun yang negatif. Fungsi intelegensi dapat menaikkan manusia ke
tingkat yang lebih tinggi. Namun intelegensi saja tidaklah cukup
melainkan harus diikuti dengan nurani yang tajam dan bersih. Kualitas dan nilai
manusia akan terkuak bila manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan naluri
bebasnya itu berdasarkan pertimbangan akal yang dikaruniai Allah SWT kepadanya
dan dibimbing oleh cahaya iman yang menerangi nuraninya yang paling murni.
Adapun nilai
esensi yang terdapat dalam diri manusia diantaranya adalah ruh, jasad, jiwa,
qalbu, dan akal.
1. Ruh
Manusia
tersusun dari unsur materi, yaitu tubuh yang mempunyai hayat dan unsur materi
yaitu ruh yang mempunyai dua daya. Seperti daya rasa di dada dan daya fikir di
kepala. Daya rasa jika diasah dengan baik akan mempertajam hati nurani, dan
daya fikir jika di latih akan mempertajam penalaran.[3]
Dalam bahasa
Arab Kata ruh berasal dari bahasa Al-Qur’an yakni Al-Ruh yang bermakna pancaran zat kehidupan yang menggerakkan suatu
makhluk ciptaan-Nya menjadi hidup, yang berasal dari zat Kemaha Hidup-Nya. Al-Hayyi
Rabb Tuhan semesta alam, atau dalam bahasa Indonesia kata ruh hanya dapat diterjemahkan dengan
kata roh atau yang dikenal dengan
sebutan nyawa.
Maka dalam
Al-Qur’an diberitakan bahwa seluruh unsur jati diri manusia pada akhirnya bakal
kembali kepada Tuhannya. Allah berfirman dalam QS. 89.Al-Fajr : 27-30 yakni :
ا أَيَّتُهَا النَّفْسُ
الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾
Artinya : “Hai jiwa yang
tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu
masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku “
Kemudian
dalam ayat ini diberitakan tentang adanya golongan lain dari kalangan manusia.
Mereka tidak termasuk yang ditimpa siksaan tiada tara itu. Mereka justru
mendapat kabar gembira dan dimasukkan ke dalam surga-Nya misalnya seperti dalam
beberapa penafsiram dibawah ini :
a)
Menurut
Ibnu Abbas, dia
adalah al-muthmainnah bi tsawâbil-Lâh (jiwa yang tenteram dengan pahala
Allah) juga bermakna jiwa yang mukmin.
b)
Al-Hasan menafsirkannya sebagai al-mu’minah
al-mûqînah (jiwa yang mukmin dan yakin). Athiyah berpendapat, ia adalah
jiwa yang ridha terhadap qadha Allah.
c)
al-Khazin, yang dimaksud dengannya adalah
jiwa yang teguh di atas iman dan keyakinan, membenarkan apa yang difirmankan
Allah SWT, meyakini Allah SWT sebagai Tuhannya, serta tunduk dan taat terhadap
perintah-Nya.
d)
Ibnu
Jarir ath-Thabari
memaknainya sebagai orang yang tenteram dengan janji Allah SWT yang disampaikan
kepada ahli iman di dunia berupa kemuliaan bagi dirinya di akhirat, kemudian
dia membenarkan janji itu.
e)
Abu
Hayyan al-Andalusi
menyatakan, al-muthmainah adalah al-âminah (orang yang aman dan
tenteram) tidak diliputi oleh ketakutan dan kekhawatiran; atau tenteram dengan
kebenaran dan tidak dicampuri dengan keraguan.
f)
Fakhruddin
ar-Razi, al-itmi’nân
berarti al-istiqrâr wa ats-tsabbât (kekokohan dan keteguhan) meyakini
kebenaran dengan pasti.
2.
Jasad
Terdiri
dari Jasmani, Tubuh, dan daging. Salah
satu elemen manusia terdiri dari prototype
tulang yang diselubungi daging beserta seluruh komponen system
metabolismenya yang asal usulnya berasal dari tanah. Maka dari itu, seluruh
aktifitas dan mekanisme perkembangan tubuh manusia ini tetap di bawah kekuasaan
Roh Al-Idhofi atau Ruh
Al-Hayat atau dalam bahasa indonesia menyebutnya nyawa, yang menguasai
seluruh peredaran darah dan urat syaraf serta memberi energi pada
pergerakan/kerja paru-paru dan jantung.
Karena adanya
roh yang menguasai jasad/jasmani ini maka manusia dapat merasakan adanya rasa
sakit, lesu, lelah, segar dan lain-lainnya. Bila Roh Al-Idhofi yang menguasai badan ini keluar dari raganya, maka
ditusuk jarum pun tubuh tidak terasa sakit atau tubuh dalam keadaan mati rasa. Roh
jasmani ini menguasai nafsu amarah dan nafsu hewani. Nafsu hewani ini memiliki
sifat dan kegemaran seperti binatang, misalnya: malas, suka setubuh, serakah,
mau menang sendiri dan lain sebagainya.
3. Jiwa
Jiwa (al-nafs al-nathiqah ) adalah salah satu nilai
esensi yang terdapat dalam diri manusia. Menurut Al-Ghazali memiliki hubungan
erat dengan badan, hubungan badan tersebut diibaratkan seorang penunggang kuda
dengan kudanya. Hubungan ini merupakan hubungan aktivitas dalam arti bahwa yang
memegang kendali adalah si penunggang kuda bukan kudanya. Kuda hanya alat untuk
mencapai tujuan, ini berarti bahwa badan itu merupakan alat bagi jiwa. Jadi,
badan tidak mempunyai tujuan pada dirinya dan tujuan itu akan ada apabila
dihubungkan dengan jiwa, yaitu sebagai alat untuk mengaktualisasikan
potensi-potensinya.
Dalam tempat
lain Al-Ghazali menjelaskan bahwa hubungan jiwa dengan badan diibaratkan
seperti seorang tuan menggunakan sahayanya, pemimpin menerima layanan
rakyatnya, dan pekerja terhadap perkakasnya. Jiwa menggunakan badan bagaikan
kendaraannya. Hubungan jiwa dengan badan menurut Al-Ghazali sesungguhnya tidak
terbatas hanya di dunia saja, tapi di akhirat nanti juga masih berhubungan.
Jiwa itu tidak mati, tetapi hanya meninggalkan badan dan menunggu kembali
kepada Tuhannya di hari kiamat.
4. Qalbu

Artinya :“Kecuali orang yang mendatangi Allah dengan qalb (hati) yang sehat”
(al-Syu’ara:89)
Dari semua
yang tedahulu jelas bahwa arti qalb (hati) dalam al-Qur’an lebih khusus
daripada arti nafs (jiwa). Ia tidak menunjukkan motivasi naluriah tetapi khusus
mengenai aspek yang sadar saja.[4]
Qalbu (hati), mengandung dua arti:[5]
a. Suatu
bentuk yang runung mengerucut dari sepotong daging yang berada di sebelah kiri
dari dada, tugasnya mengedarkan darah, merupakan sumbernya watak hayawaniyah.
Hati ini terdapat pula pada binatang-binatang. Hati yang di maksud dengan
istilah ini termasuk dalam alam lahir,jadi oleh karenanya ia dapat dilihat oleh
mata.
b. Suatu
perwujudan yang sangat ajaib dari alam Ketuhanaan yang mempunyai hubungan
dengan hati yang terwujud benda itu, seperti halnya hubungan antara penghuni
rumah dengan rumahnya atau anatara seorang tukang dengan alat-alat perkakasnya.
Ia sendirilah yang bertanggung jawab dan merasakan apa yang pernah dirasakan.
5. Akal
Dalam
pandangan Islam, manusia adalah makhluk yang paling sempurna bila dibandingkan
makhluk lain. Karena itu manusia harus menggunakan akal dan inderanya untuk
memahami mana kebenaran yang sesungguhnya, atau kebenaran yang dibenarkan.
Eksistensi manusia yang padat itu harus dimengerti dan dipikirkan. Manusia
adalah makhluk religius, dimana manusia memperlakukan agama sebagai suatu
kebenaran yang harus dipatuhi dan di yakini membangun manusia yang sanggup
melakukan pembangunan duniawi yang berarti bagi hidup pribadi di akhirat kelak.
[6]seperti
dalam surah-surah :
Al-Baqarah:
44
أَتَأْمُرُونَ
النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ
أَفَلا تَعْقِلُونَ
Artinya :“Mengapa kamu suruh
orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu
sendiri, padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”
Lebih dari
itu dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu agama dan filsafat saling memanfaatkan
diri, sehingga secara ringkas dapat dikatakan bahwa titik mula kajian rasional
dikalangan umat islam sebenarnya berkisar pada perpaduan akal dengan agama.
Umpama, ilmu ushul fiqih, sebagai salah-satu metode kajian fiqh, banyak
memanfaatkan filsafat dan logika Aristoteles. Ilmu tafsir lebih menjelaskan
perpaduan ini, ia didominasi oleh dua kecendrungan, yang pertama bertumpu pada
naql sementara kecenderungan lain bertumpu pada akal. Dan didalam penafsiran
yang rasional berpadu ilmu pengetahuan dan filsafat. Gaya ini oleh Fakhruddin
al-Razi, dalam bukunya yang popular, Fath
al-Rahman, benar-benar telah dioptimasikan. Secara umum para pemikir besar
islam tidak pernah kehilangan kesempatan untuk mengetahui aneka ragam aspek ini
dan meneguk lautan peradaan dengan segala keberagamaannya.
Al-Hadis
sebagai sumber kedua dari ajaran Islam ternyata juga memberi kedudukam tinggi
pada akal. Telah dijelaskan bahwa agama adalah penggunaan akal, tiada agama
bagi orang-orang yang berakal. Dalam hadis qudsi Allah bersabda kepada akal :
“ Demi kekuasaan dan keagungan-Ku tidaklah
kuciptakan makhluk lebih mulia dari engkau. Karena engkau Aku mengambil dan
memberi dan karena engkau Aku menentukan pahala dan menjatuhkan hukuman.”[7]
B.
Hakikat
Manusia dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islami
Semenjak
manusia mengkhendaki kemajuan dalam kehidupan, maka sejak itu timbul gagasan
untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui
pendidikan. Maka dari itu dalam sejarah pertumbuhan masyarakat, pendidikan senantiasa
menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan kehidupan generasi demi generasi
dengan tuntutan kemajuan masyarakat. Dengan demikian, maka pendidikan islam
dalam prosesnya harus berlangsung secara intelektual dengan nilai-nilai, karena
islam sebagai agama wahyu mengandung system nilai yang menjadi pedoman hidup
umat manusia dalam segala bidang, termasuk dalam bidang pendidikan.[8]
Dilihat dari
segi tujuan Agama Islam diturunkan Allah kepada manusia melalui utusan-Nya
(Muhammad SAW) tidak lain adalah untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Tujuan tersebut mengandung Implikasi bahwa islam sebagai Agama wahyu mengandung
petunjuk dan peraturan yang bersifat menyeluruh, dimana sekalian alam ini akan
memperoleh rahmat secara menyeluruh, meliputi kehidupan duniawi, dan ukhrawi,
lahiriah dan batinniah, jasmaniah dan rohaniah.
Implikasi
adalah suatu keadaan yang dimana manusia ikut dalam sebuah keterlibatan[9]
. Misalnya dalam sebuah penelitian yang memungkinkan menimbulkan sebuah manfaat
atau keuntungan bagi dirinya sendiri. Pola dasar pendidikan Islam yang
dilaksanakan dalam suatu system memberikan kemungkinan berprosesnya
bagian-bagian menuju ke tujuan yang telah di tetapkan sesuai ajaran islam.
Dengan demikian suatu system pendidikan islam harus berkembang dari pola
dasarnya yang akan membentuk menjadi pendidikan yang bercorak dan berwatak
serta berjiwa Islam. Sifat konsisten dan konstan dari proses pendidikan
tersebut tidak akan keluar dari pola dasarnya sehingga hasilnya juga sama
sebangun dengan dasar tersebut.
Untuk tujuan
itu maka kita harus memahami falsafah pendidikan islam, karena ia menjadi
dasarnya dan sekaligus mengarahkan tujuan. Oleh karena menyangkut permasalahan
falsafah, maka dalam pola dasar pendidikan Islam itu mengandung pandangan Islam
tentang prinsip-prinsip alam raya, prinsip-prinsip kehidupan manusia sebagai
pribadi, dan prinsip-prinsip kehidupannya sebagai makhluk social. Ketiga
prinsip tersebut akan melibatkan pembahasan secara dalam menurut istilah teknis
filosofis berturut-turut sebagai berikut :[10]
a. Ontologi
: Yang membahas tentang asal usul kejadian alam nyata dan di balik alam nyata.
b. Epistimologi
: Yang membahas tentang kemungkinan manusia mengetahui gejala alam.
c. Axiologi
: Yang membahas tentang system nilai-nilai dan teori nilai atau yang disebut
etika.
Azyumardi
Azra mengutip pendapat Omar Mohammad al-Toumy al- Syaibani menjelaskan tujuan
antara manusia dalam pendidikan Islam sebagai berikut :
a. Tujuan
Individual yang berkaitan dengan individu-individu, pelajaran (learning) dan
dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu-individu
tersebut pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku,aktivitas dan
pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang di ingini pada pribadi mereka, dan
pada persiapan yang di mestikan kepada mereka yang bertujuan dunia dan akhirat.
b. Tujuan-tujuan
social yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, dengan
tingkah laku masyarakat umumnya, dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan ini
tentang perubahan yang di ingini dan pertumbuhan yang memperkaya pengalaman dan
kemajuan yang di ingini.
c. Tujuan
professional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu
,sebagai seni ,sebagai profesi dan sebagai suati aktivitas di antara
aktivitas-aktivitas masyarakat.[11]
Dengan
demikian, jelaslah bahwa pengertian pendidikan Islam hal ini adalah usaha sadar
yang dilakukan oleh orang dewasa muslim yang bertaqwa untuk mengarahkan dan
membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah manusia atau anak didik menuju
kepribadian yang sempurna dan utama berdasarkan ajaran Islam. Pendidikan Islam
sebagai suatu kegiatan yang terencana mempunyai kejelasan tujuan yang ingin
dicapai. Karena tujuan merupakan penentu ke mana pendidikan Islam itu
diarahkan. Setiap aktivitas yang dilakukan pasti mempunyai tujuan tertentu,
sebab tanpa memiliki tujuan yang akan dicapai maka aktivitas tersebut tidak
akan jelas ke mana harus melangkah, sehingga tidak dapat menyatakan
aktivitasnya berhasil atau tidak.
Pendidikan
Islam adalah kebutuhan untuk dapat melaksanakan Islam sebagaimana yang
dikehendaki oleh Allah SWT. Berdasarkan makna ini maka tujuan pendidikan Islam
mempersiapkan diri manusia guna melaksanakan amanah yang dipikul oleh manuisa
harus dilandasi Al-Qur'an dan Al-Hadits. Sebagai sumber seluruh aspek hukum
dengan menurut Islam.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Manusia adalah
satu kata yang sangat bermakna dalam, dimana manusia adalah makhluk yang sangat
sempurna dari makhluk-makhluk lainya. Makhluk yang sangat spesial dan berbeda
dari makhluk yang ada sebelumnya. Makhluk yang bersifat nyata dan mempunyai
akal fikiran dan nafsu yang diberikan Tuhan untuk berfikir, mecari kebenaran. Pola dasar pendidikan Islam yang
dilaksanakan dalam suatu system memberikan kemungkinan berprosesnya
bagian-bagian menuju ke tujuan yang telah di tetapkan sesuai ajaran islam.
Dengan
demikian suatu system pendidikan islam harus berkembang dari pola dasarnya yang
akan membentuk menjadi pendidikan yang bercorak dan berwatak serta berjiwa
Islam. Sifat konsisten dan konstan dari proses pendidikan tersebut tidak akan
keluar dari pola dasarnya sehingga hasilnya juga sama sebangun dengan dasar
tersebut. Pendidikan Islam adalah kebutuhan untuk dapat melaksanakan Islam
sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Berdasarkan makna ini maka tujuan
pendidikan Islam mempersiapkan diri manusia guna melaksanakan amanah yang
dipikul oleh manuisa harus dilandasi Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai sumber
seluruh aspek hukum dengan menurut Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muhammad, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta
: Bumi Aksara, 2000.
Azyumardi ,Azra, Esei-esei Intelektual Muslim
Pendidikan Islam(Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1998)
Hamid, Farida, Kamus Ilmiah Populer Lengkap ( Surabaya :
Appolo Lestari )
Jalaluddin,
dan Idi, Abdullah. FILSAFAT PENDIDIKAN : Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Jakarta Selatan:
Gaya Media Pratama Jakarta. 1997.
Langgulung,Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna,1987.
Madkour, Ibrahim, Filsafat Islam Metode dan
Penerapan, Jakarta : CV. Rajawali,1991.
Nasution, Harun,
Islam Rasional, Jakarta : Penerbit Mizan,1998
Taufiq, Ismail,
Sadjak Ladang Djagung ( Jakarta : Budaja Djaja, 1973),
[1] Ismail Taufiq, Sadjak Ladang Djagung ( Jakarta : Budaja Djaja, 1973), hlm. 54.
[2] Jalaluddin, dan Idi, Abdullah. Filsafat Pendidikan : Manusia, Filsafat dan Pendidikan. (Jakarta Selatan:
Gaya Media Pratama Jakarta. 1997). Hal. 95.
[3] Harun Nasution. Islam Rasional, (Jakarta : Penerbit
Mizan,1998), hlm. 38.
[4]Hasan Langgulung. Asas-asas Pendidikan Islam. (Jakarta:
Pustaka Al-Husna,1987).hlm 28.
[5] Ibid.,hlm. 10.
[6] Ibrahim Madkour. Filsafat
Islam Metode dan Penerapan,(Jakarta : CV. Rajawali,1991), hlm.9
[7] Harun Nasution. Islam Rasional, (Jakarta : Penerbit
Mizan,1998), hlm. 55.
[8] Muhammad Arifin. Ilmu
Pendidikan Islam ( Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hlm.5-7.
[9] Farida Hamid. Kamus Ilmiah Populer Lengkap ( Surabaya
: Appolo Lestari ), hlm. 215.
[10] Muhammad Arifin. Ilmu
Pendidikan Islam ( Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hlm.54-55.
[11]
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim
Pendidikan Islam(Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1998), hlm. 7.
Komentar
Posting Komentar